Buat saya, Januari bukan sekadar awal tahun. Ia adalah bulan penuh cerita dan keajaiban—karena ketiga anak saya lahir di bulan ini. Iya, ketiganya!
Anak pertama lahir di minggu keempat Januari, pada usia kandungan 38 minggu, melalui persalinan pervaginam. Sementara si kembar—anak kedua dan ketiga—juga lahir di minggu ketiga Januari, pada usia kandungan 37 minggu, lewat operasi caesar.
Kalau saja kelahiran adik-adiknya bisa ditunda hingga minggu ke-38, mungkin saya punya kesempatan untuk menyamakan tanggal lahir mereka dengan kakaknya. Tapi sayangnya, operasi tidak bisa ditunda lagi. Jadwal sudah ditentukan oleh rumah sakit, dan harapan itu pun harus saya relakan. Lagipula, keselamatan mereka adalah yang utama.
Baca juga: Drama Hamil Kembar di Usia 30-an
Nah, di tulisan kali ini saya ingin berbagi pengalaman melahirkan untuk kedua kalinya—yang tentu sangat berbeda dengan persalinan pertama, karena kali ini saya harus menjalani operasi caesar.
Dua tahun berlalu, tapi ingatannya masih hangat. Sebelum semua detailnya memudar, saya ingin mengajak kalian ikut merasakan perjalanan itu. Yuk, simak kisahnya sampai selesai!
Minggu, 15 Januari 2023
(Persiapan Sebelum ke Rumah Sakit)
Hari itu, pagi-pagi sekali saya sudah menuju Stasiun Kiaracondong untuk menjemput Ibu. Beliau datang ke Bandung untuk menemani saya melahirkan, sekaligus membantu saya selama masa pemulihan nanti.
Sejak awal kehamilan—tepatnya usai mudik—saya memang sudah meminta Ibu untuk menemani saya selama sebulan penuh. Saya ingin didampingi lebih lama karena saat anak pertama lahir, Ibu hanya bisa bersama saya selama dua hari satu malam. Waktu itu Ibu masih bekerja dan belum bisa mengambil cuti panjang.
Saat meminta Ibu datang, saya belum tahu kalau ternyata saya hamil anak kembar. Belum tahu juga kalau salah satu janin mengalami kelainan, dan belum tahu kalau saya harus menjalani persalinan secara caesar. Siapa sangka, semua itu membuat kehadiran Ibu menjadi benar-benar penting. Pasca-operasi tentu membutuhkan waktu pemulihan yang tidak sebentar.
Baca juga: Mudik Berdua dengan Anak Saat Hamil Muda
Kedatangan Ibu kali ini bisa dibilang cukup mendadak, karena informasi dari rumah sakit pun datang secara tiba-tiba. Jumat sore saya mendapat telepon dari dokter PPDS di RSHS. Dokter menyampaikan bahwa saya harus langsung rawat inap pada hari Senin, untuk persiapan operasi yang dijadwalkan hari Selasa atau Rabu.
Sebelumnya, saya mendapat informasi bahwa Senin depan saya hanya akan kontrol seperti biasa, karena jadwal operasi saya belum dipastikan. Katanya, jadwal baru akan ditentukan setelah pertemuan hari Kamis. Ternyata, dari hasil pertemuan tersebut, saya sudah harus rawat inap Senin pagi. Rasanya campur aduk—antara lega karena akhirnya mendapat kepastian, tapi juga panik karena merasa belum siap.
Begitu mendapat kabar tersebut, hal pertama yang saya lakukan adalah menelepon Ibu—menanyakan apakah beliau ingin datang sebelum atau sesudah operasi. Ibu memilih datang sebelum, jadi malam itu juga saya langsung memesan tiket kereta. Ibu berangkat Sabtu sore dan tiba di Bandung Minggu pagi.
Setelah menjemput Ibu, saya mengajaknya mampir ke rumah Mama mertua. Selain untuk silaturahmi, saya juga ingin meminta doa dan restu dari keluarga demi kelancaran operasi esok hari. Usai dari sana, kami pulang dan saya melanjutkan persiapan yang sempat tertunda.
Malam itu, hati saya rasanya campur aduk—tidak sabar, takut, bersemangat, cemas—semua bercampur jadi satu.
Senin, 16 Januari 2023
(Check-in Rumah Sakit)
Senin pagi, sekitar pukul 8, kami semua bersiap meninggalkan rumah untuk beberapa hari. Tas, koper, ransel—semuanya sudah rapi di ruang tamu. Suasananya seperti mau pergi liburan. Sayangnya, “liburan” kali ini bukan ke hotel, melainkan ke rumah sakit.
Suami dan anak pertama saya berangkat lebih dulu ke rumah Mama dengan motor. Si sulung akan menginap di rumah neneknya selama saya di rumah sakit. Ini pertama kalinya dalam hidupnya dia menginap tanpa saya dan papanya.
Setelah mereka pergi, saya dan Ibu berangkat ke rumah sakit menggunakan taksi online. Kami memilih lewat tol agar lebih cepat sampai, karena sudah dijadwalkan bertemu dengan dokter anak dan dokter bedah anak yang akan menangani bayi-bayi saya setelah lahir.
Sesampainya di rumah sakit, saya langsung menuju poli fetomaternal. Namun, saya diminta ke poli anak terlebih dahulu untuk bertemu dua dokter spesialis yang sudah ditunjuk. Dalam pertemuan itu, mereka menjelaskan tindakan-tindakan medis yang akan dilakukan kepada bayi saya yang mengalami hernia diafragma. Selain memberikan edukasi, mereka juga terlihat berusaha menguatkan saya. Saya sangat mengapresiasi dukungan mereka. Saya benar-benar terharu.
Setelah pertemuan dengan dokter selesai, saya kembali ke poli fetomaternal untuk menjalani pemeriksaan USG dan CTG. Selagi saya diperiksa, suami mengurus proses rawat inap di bagian kasir, sementara Ibu menunggu dengan sabar di ruang tunggu. Rasanya semua bergerak cepat hari itu
Usai pemeriksaan, saya menjalani tes swab Covid-19. Ini pertama kalinya saya diswab, dan ternyata, ya… benar saja, tidak nyaman! Tapi Alhamdulillah, hasilnya negatif.
Saat memilih kamar, kami sempat bingung. Suami sebenarnya sudah menyampaikan kepada petugas bahwa kami ingin naik kelas ke kamar VIP. Namun, petugas menyarankan agar kami tetap memilih kamar kelas 1, dengan alasan bahwa di kamar VIP tidak diperbolehkan rooming-in dengan bayi. Akhirnya, kami pun menerima kamar kelas 1 sesuai dengan fasilitas BPJS.
Kamar kelas 1 yang saya tempati berada di ruang Alamanda. Kamar ini terdiri dari dua tempat tidur yang dipisahkan tirai, dan satu kamar mandi bersama. Saat saya datang, tempat tidur sebelah masih kosong, jadi saya masih leluasa beraktivitas tanpa perlu menutup tirai. Meski begitu, tetap saja tidak sepenuhnya nyaman, karena di lorong depan kamar terdapat ruang jaga untuk dokter PPDS dan bidan.
Sore harinya, datang pasien yang menempati tempat tidur sebelah. Suami dan Ibu mulai tampak tidak nyaman—bingung harus duduk di mana, salat di mana, bahkan menutup tirai pun terasa sumpek, karena menurut saya ruang di balik tirai itu sempit sekali. Belum lagi memikirkan di mana mereka akan tidur malam nanti. Ditambah lagi, kloset yang bermasalah, jet shower yang bocor, serta wastafel yang tidak mengeluarkan air membuat suasana semakin tidak nyaman. Akhirnya, kami pun memutuskan untuk meminta pindah ke kamar VIP di Paviliun Parahyangan.
Kami tak masalah meskipun kamar VIP tidak memungkinkan untuk rooming-in dengan bayi, karena saya sadar bayi-bayi saya nanti akan membutuhkan pemantauan khusus setelah lahir.
Setelah melalui proses yang cukup panjang dan dibantu banyak pihak, usai Magrib, saya dijemput menggunakan kursi roda oleh tenaga kesehatan dari Paviliun Parahyangan dan dipindahkan ke kamar VIP.
Kamar itu ukurannya kurang lebih sama dengan kamar kelas 1 sebelumnya, tapi di dalamnya hanya ada satu tempat tidur. Gedung ini merupakan bangunan lama, jadi desain interiornya pun terkesan jadul. Meski begitu, ruangannya bersih dan masih sangat layak digunakan.
Di depan tempat tidur terdapat TV, meja, dan lemari. Di bagian bawah lemari, ada kulkas kecil. Di sisi kiri tempat tidur, bersebelahan dengan pintu masuk, terdapat beberapa lemari penyimpanan dan meja kecil yang bisa digeser-geser. Sementara di sisi kanan, ada sofa yang posisinya bersebelahan langsung dengan kamar mandi. Di depan kamar mandi, terdapat meja makan lengkap dengan empat kursi.
Baca juga: The Anmon Resort, Staycation Seru di Teepee ala Indian
Di kamar ini, akhirnya kami merasa jauh lebih nyaman. Kami bisa beraktivitas dengan lebih leluasa tanpa merasa sungkan terhadap orang lain. Tidak ada lagi kebingungan mencari tempat duduk, tempat salat, atau khawatir mengganggu privasi pasien lain. Rasanya lega sekali bisa bergerak bebas tanpa harus dibatasi tirai atau menyesuaikan diri dengan kondisi kamar bersama.
Saya dan Ibu bisa beristirahat lebih tenang, sementara suami juga punya ruang untuk bersiap dan membantu keperluan tanpa canggung. Kamar ini mungkin sederhana, tapi suasananya jauh lebih mendukung untuk menghadapi hari-hari penting yang akan datang.
Tak lama setelah berpindah kamar, saya dikunjungi oleh petugas dapur—atau mungkin ahli gizi—yang menanyakan apakah saya ingin makan malam berat atau hanya cemilan. Karena saya sudah makan sore tadi di kamar sebelumnya, saya memilih cemilan saja. Saya juga meminta agar cemilan diantarkan di atas jam 9 malam, sebagai makanan penutup sebelum mulai puasa.
Selain itu, mereka juga menanyakan pilihan menu makanan dan cemilan untuk beberapa hari ke depan. Ada beberapa pilihan yang disiapkan, dan saya pun memilih yang kira-kira cocok di lidah.
Malam itu, sebelum tidur, dokter jaga sempat datang memeriksa kondisi saya sekali lagi. Setelah semuanya dirasa aman dan tak ada keluhan berarti, saya akhirnya bisa sedikit bernapas lega.
Saya menutup hari itu dengan menyantap cemilan hangat yang disajikan—semangkuk bubur sumsum gula merah dan sebutir telur rebus. Favorit saya sejak dulu, dan malam itu terasa lebih nikmat, seolah menjadi penghibur kecil sebelum hari besar esok tiba.
Selasa, 17 Januari 2023
(Hari Operasi dan Kelahiran Si Kembar)
Hari itu saya bangun salat Subuh tepat waktu, meskipun semalam sulit tidur karena harus bolak-balik ke kamar mandi untuk buang air kecil. Ya, perut yang semakin membesar membuat keinginan itu makin sulit ditahan, apalagi di malam hari.
Sejak tengah malam, saya sudah mulai berpuasa sesuai arahan dari tenaga kesehatan. Untungnya, saya sempat menyantap camilan dan meneguk sebotol air mineral sebelumnya, jadi pagi itu saya tidak merasa terlalu lapar.
Usai mandi pagi dengan air dingin—karena kamar VIP di RSHS memang tidak menyediakan air hangat—saya kembali ke tempat tidur dan mencoba bersantai. Jadwal operasi belum ditentukan secara pasti, hanya disebutkan akan dilakukan pagi hari. Saya diminta bersiap sebelum pukul 8. Dan benar saja, sekitar pukul 8, petugas datang menjemput saya dengan kursi roda menuju ruang operasi.
Sesampainya di depan ruang operasi, saya diminta berganti pakaian dan dipindahkan dari kursi roda ke tempat tidur dorong. Sampai di titik itu, suami dan Ibu masih bisa menemani saya. Tapi setelahnya, saya hanya didampingi oleh dokter dan perawat hingga masuk ke ruang operasi.
Sebelum masuk ke ruang operasi, dokter yang memimpin operasi hari itu memperkenalkan diri, begitu juga dengan dokter anestesi yang akan mendampingi saya di dalam ruangan. Suami juga diminta menandatangani beberapa berkas, termasuk persetujuan untuk tindakan steril yang akan dilakukan bersamaan dengan operasi caesar.
Begitu masuk kamar operasi yang terlintas di pikiran saya adalah "Jadul sekali ruangannya." Tidak seperti yang biasa saya lihat di film-film. Malah cenderung mengingatkan saya pada SMA saya dulu di Malang. Sungguh pikiran yang tidak penting menjelang operasi, bukan? Tapi memang sevisual itu saya.
Baca juga: Tanpa Jarum, Tanpa Trauma: Pengalaman Khitan di Mahir Sunat
Beberapa saat setelah masuk, saya dipindahkan ke tempat tidur operasi dan diminta mengambil posisi untuk proses pembiusan. Untungnya, sebelumnya saya sempat mendapat cerita dan tips dari seorang kenalan yang juga dokter tentang prosedur di ruang operasi. Jadi saat proses dijalankan, saya sudah siap dan tidak merasa sakit sedikit pun, bahkan meskipun harus dibius dua kali karena bius pertama belum membuat kaki saya benar-benar mati rasa.
Setelah itu saya sempat merasa mual, efek dari obat bius. Saya langsung menginformasikan ke dokter anestesi yang berada di sisi kepala saya. Beliau pun menyuntikkan obat, dan seketika rasa mual itu hilang. Terima kasih untuk Bu Dokter Gigi cantik yang sudah membekali saya dengan berbagai saran sebelumnya—sangat membantu.
Tak lama setelah rasa mual mereda, kedua bayi saya akhirnya lahir. Bayi pertama tidak menangis sekencang bayi kedua karena kondisi kesehatannya memang berbeda. Tapi melihat keduanya, hati saya langsung terasa hangat, meskipun tubuh saya menggigil hebat karena dingin. Dokter anestesi pun terus mengajak saya berbincang—mungkin supaya saya tidak tertidur. Jujur saja, saya memang mulai mengantuk, mungkin karena efek obat bius.
Namun saat tindakan medis mulai dilakukan pada bayi pertama, saya tidak sanggup melihat. Saya memilih memusatkan perhatian pada bayi kedua, meskipun pandangan saya kabur tanpa kacamata. Kami memang tidak melakukan IMD (inisiasi menyusu dini), karena keduanya harus segera mendapat penanganan medis.
Selama proses penjahitan, dokter yang bertugas beberapa kali mencoba mengajak saya mengobrol. Sayangnya, saya tidak bisa mendengar dengan jelas karena suara-suara alat medis yang ramai di dalam ruangan. Oh ya, dokter yang menjahit bukanlah dokter yang sebelumnya memperkenalkan diri sebagai penanggung jawab di ruang depan tadi.
Sekitar pukul 11 siang, seluruh proses selesai. Saya dipindahkan ke ruang pemulihan, meninggalkan kedua bayi yang masih berada di ruang operasi. Di ruang pemulihan, saya masih menggigil hebat. Obat sudah disuntikkan melalui infus, bahkan alat pemanas pun sudah ditambahkan satu lagi selain yang dibawa dari ruang operasi. Tapi kondisi saya belum juga membaik.
Akhirnya saya tertidur dalam kondisi setengah sadar karena masih menggigil. Rasa dingin itu baru mereda menjelang pukul 1 siang. Setelah itu, saya baru dipindahkan kembali ke kamar. Saat tiba, kamar terasa sepi—suami dan Ibu belum ada. Jadi saya beristirahat sendirian.
Tak lama kemudian mereka datang. Ibu baru saja dari ruang perina, mengurus bayi kedua, sementara suami dari NICU, menemani bayi pertama. Sampai sore hari, suami masih sibuk bolak-balik membeli perlengkapan bayi. Ternyata ada beberapa barang yang belum saya persiapkan atau jumlahnya kurang. Saya lupa bahwa saya akan melahirkan dua bayi, dan artinya semua kebutuhan seperti sabun, tisu basah, pakaian, dan perlengkapan lainnya juga harus disiapkan dalam jumlah dua kali lipat.
Untungnya, di sekitar rumah sakit banyak toko yang menjual perlengkapan ibu dan bayi, jadi suami tidak perlu pergi terlalu jauh. Hanya saja, tetap melelahkan karena ia harus bolak-balik ke toko, ruang perina, NICU, dan kamar rawat saya.
Hari itu saya tutup dengan perasaan lega karena akhirnya berhasil melalui proses melahirkan dengan sehat dan selamat. Tapi juga tetap merasa nyeri di bekas jahitan, dan deg-degan menunggu kabar dari ruang perawatan. Kedua bayi saya masih dalam pemantauan dokter. Meskipun bayi kedua tampak sehat, ia lahir dengan kondisi BBLR (Berat Badan Lahir Rendah), dan tetap perlu pengawasan.
Sampai di sini dulu cerita saya tentang proses persalinan dari persiapan hingga bayi-bayi lahir. Hari-hari berikutnya—hari keempat dan kelima—akan saya lanjutkan kisahnya di postingan selanjutnya. Dua hari terakhir di rumah sakit juga masih penuh dengan cerita, harapan, dan tantangan baru. Terima kasih sudah membaca sejauh ini, semoga kisah ini bisa menjadi pengingat bahwa setiap proses melahirkan punya perjuangan dan keajaibannya sendiri.