Sebelum kunjungan saya bulan kemarin, saya sudah pernah beberapa kali mengunjungi Yogyakarta. Tapi anehnya, saya belum pernah benar-benar jatuh cinta pada kota ini, tidak seperti kebanyakan orang yang selalu ingin kembali. Mungkin karena momennya kurang tepat. Salah satunya, saat saya nyaris pingsan di Museum Benteng Vredeburg karena sakit. Alih-alih menjelajah, saya lebih banyak beristirahat di penginapan. Yang tertinggal justru kenangan tentang teriknya matahari Jogja, bukan keindahan dan kenyamanan kotanya.
Namun, di kunjungan terakhir kemarin, semuanya mulai berubah. Meski masih dalam suasana sederhana dan hemat, saya merasa lebih bisa menikmati Yogyakarta. Ada lebih banyak momen yang melekat, dan perlahan, kota ini mulai memberi kesan positif. Kesan yang membuat saya, untuk pertama kalinya, ingin kembali.
Lewat tulisan ini, saya ingin berbagi cerita tentang hari ketiga dan keempat dari total 5 hari 4 malam liburan kami di Yogyakarta. Hari pertama dan kedua sudah saya ceritakan sebelumnya dalam tulisan berjudul “Liburan Hemat 5 Hari 4 Malam di Jogja (Part 1)”.
Bagaimana keseruan liburan kali ini sampai bisa membuat saya jatuh cinta? Yuk, baca sampai selesai.
Hari Ketiga: Dimulai dengan Sunrise dan ditutup dengan Sunset
Hari ketiga dimulai lebih pagi dari biasanya. Usai salat Subuh, saya menerima pesan dari adik saya. Ia mengirimkan foto pantai dengan matahari terbit yang mulai tampak samar di kejauhan. Rupanya, pagi itu ia sudah memulai menjelajah pantai seorang diri.
Menikmati Matahari Terbit di Pantai Krakal
Sementara adik saya sudah sampai di Pantai Sadranan, saya dan si bungsu baru keluar kamar dan berjalan kaki menuju Pantai Krakal, berharap bisa menyaksikan matahari terbit dari garis cakrawala. Udara pagi masih lembap, dengan angin laut yang berembus tidak sekencang hari sebelumnya.
![]() |
Sunrise di Pantai Krakal (Sumber: Dokumentasi Pribadi) |
Entah saya yang datang sedikit terlambat, atau memang Pantai Krakal bukan tempat terbaik untuk mengejar sunrise, pagi itu, langit hanya dibiasi semburat jingga yang lembut di balik siluet bukit di kejauhan. Meskipun matahari tak muncul bulat sempurna di ufuk timur, warna langit yang temaram tetap mampu menghadirkan suasana yang syahdu, terlebih diiringi suara gelombang yang berlarian menuju daratan. Rasanya saya ingin duduk diam sendirian di atas pasir sambil membaca buku. Sayangnya ada si kecil dalam gendongan yang membuyarkan semua lamunan saya.
Bermain Pasir di Pantai Slili
Setelah puas menikmati suasana pagi, kami berdua kembali ke penginapan untuk menjemput anggota keluarga lainnya, kecuali adik saya, yang sudah lebih dulu berjalan-jalan sejak subuh. Pagi itu, tujuan kami adalah Pantai Slili yang berada di antara Pantai Krakal dan Sadranan. Pasir di Pantai Slili terasa lebih lembut dibandingkan dengan di Krakal maupun Sarangan. Namun seperti di Pantai Krakal, ombak di sana pun cukup besar.
![]() |
Menikmati Pantai Slili (Sumber: Dokumentasi Pribadi) |
Si sulung enggan bermain air pagi itu. Sepertinya karena ombaknya besar. Dia lebih tertarik bermain pasir di tepi pantai. Kami pun membeli satu set mainan pasir seharga 35 ribu rupiah. Mainan sederhana itu ternyata cukup ampuh membuat si bungsu yang semula enggan turun dari gendongan jadi betah duduk berlama-lama di pasir.
Menuju Pantai Sarangan dan Bermain Ombak
Ketika matahari mulai meninggi dan udara terasa lebih panas, kami memutuskan berpindah ke Pantai Sarangan. Pantai ini menjadi favorit si sulung karena ombaknya lebih kecil, sehingga terasa lebih aman dan nyaman untuk bermain air.
![]() |
Pantai Sarangan Pagi Hari (Sumber: Dokumentasi Pribadi) |
Begitu sampai, si sulung langsung berlari ke arah air, kembali berkejaran dengan ombak-ombak kecil. Sementara itu si bungsu tetap tidak tertarik dengan air, dia kembali menggelar lapak di atas pasir. Kami memilih tempat di sisi kiri, dekat karang-karang. Suasananya masih teduh karena berada tak jauh dari pepohonan.
Sekitar pukul setengah sembilan, kami memutuskan kembali ke penginapan. Si sulung sempat menolak pulang karena masih ingin bermain, tetapi perut kami mulai lapar dan sinar matahari semakin terik.
Kembali ke The Royal Joglo dan Bersiap Check-out
Sesampainya di penginapan, anak-anak langsung saya mandikan untuk membersihkan pasir yang masih menempel di tubuh mereka. Sementara itu, suami memilih sarapan lebih dulu meskipun masih dalam keadaan basah dan belum sempat berganti baju. Setelah anak-anak bersih dan kenyang, giliran suami masuk kamar mandi, dan saya pun menikmati sarapan bersama mereka. Pagi itu hanya saya yang tidak bermain air, jadi saya mengambil jatah mandi paling akhir.
Baca juga: Kepri Coral: Resort Unik di Pulau Pengalap
Sarapan di penginapan ini disajikan per porsi dan diantar langsung ke teras masing-masing kamar sekitar pukul setengah delapan pagi. Hal ini cukup memudahkan karena kami bisa menikmati sarapan tanpa harus keluar kamar atau bergiliran ke ruang makan bersama. Kami juga tidak khawatir kehabisan, meskipun sarapan agak terlambat. Jadi, anak-anak bisa puas bermain dulu di pantai sebelum makan.
Bahkan, meskipun suami masih dalam keadaan basah setelah dari pantai, ia tetap bisa sarapan dengan nyaman di teras tanpa mengganggu tamu lain. Kekurangannya, makanan dan minuman yang disajikan cenderung sudah dingin jika tamu baru menyantapnya agak siang.
![]() |
Sarapan Nasi Goreng dan Teh Panas Sumber: Dokumentasi Pribadi |
Setelah suami selesai mandi, ia mengajak anak-anak bermain di taman kecil yang berada di area penginapan. Di sana tersedia ayunan dan area rumput yang cukup luas untuk anak berlari-larian. Sementara itu, saya memanfaatkan waktu untuk membereskan barang bawaan dan bersiap-siap tanpa tergesa. Rasanya menyenangkan bisa mandi dengan tenang, tanpa harus buru-buru atau diganggu si kecil yang biasanya minta ditemani.
Sekitar pukul 11 siang, mobil jemputan yang akan mengantar kami ke destinasi berikutnya tiba. Saat itu si bungsu sudah tertidur di pangkuan saya. Suami dan adik segera membawa koper dan tas ke mobil, lalu memastikan semua barang sudah terbawa. Setelah itu, saya menyelesaikan proses check-out di resepsionis, yang juga berjalan dengan cepat dan ramah.
Menikmati Siang di Drini Park
Perjalanan hari itu kami lanjutkan menuju Drini Park, sebuah tempat wisata baru yang masih berada di kawasan pesisir Gunungkidul. Lokasinya tidak terlalu jauh dari Pantai Drini, hanya sekitar 4 kilometer dari penginapan tempat kami menginap. Hanya butuh sekitar 15 menit untuk menuju ke tempat wisata tersebut.
Sesampainya di sana, kami langsung membeli tiket masuk. Harga tiket masuknya sebesar Rp25.000 per orang. Wahana-wahana lainnya dikenakan biaya tambahan. Tersedia juga beberapa pilihan paket yang mencakup tiket masuk beserta akses ke beberapa wahana tertentu. Namun, kami memilih membeli tiket masuk saja karena tidak banyak wahana yang ingin kami coba.
![]() |
Drini Park (Sumber: Dokumentasi Pribadi) |
Oh ya, berdasarkan pengalaman saya, semua transaksi di dalam kawasan wisata ini harus menggunakan uang tunai. Hanya loket pembelian tiket di bagian depan yang menerima pembayaran non-tunai.
Tempat ini menawarkan pemandangan laut yang indah dari ketinggian, dilengkapi dengan berbagai spot foto menarik serta beragam wahana permainan untuk anak maupun dewasa. Pengunjung juga dapat bersantap di restoran, kafe, atau food court yang tersedia di dalam area wisata. Seru sih, apalagi kalau datang bersama keluarga atau teman-teman. Insyaallah nanti saya buat tulisan tersendiri.
Kami menghabiskan waktu di Drini Park hingga sekitar pukul setengah tiga sore. Meskipun matahari cukup terik siang itu, angin laut yang berembus kencang membuat suasana tetap sejuk dan tidak terlalu menyengat. Cuaca seperti ini membuat aktivitas di luar ruangan tetap terasa nyaman, bahkan di tengah hari.
Bersantai Sore di Wonosari
Dari Drini Park, kami melanjutkan perjalanan kembali ke arah kota. Karena tidak jadi mampir ke Pictniq seperti rencana awal, kami memilih berhenti sejenak di Masjid Agung Al-Ikhlas Wonosari untuk salat Asar dan beristirahat. Masjid ini berada tepat di seberang Alun-Alun Wonosari, seperti kebanyakan kota di Indonesia di mana masjid agung selalu berdampingan dengan alun-alun.
![]() |
Sore di Wonosari (Sumber: Dokumentasi Pribadi) |
Selesai salat, kami menuju Taman Kuliner Wonosari untuk mencari camilan sore. Perut kami mulai lapar meskipun tadi sudah makan siang di Drini Park. Kami juga sempat singgah sejenak di Taman Kota Wonosari sebelum akhirnya kembali melanjutkan perjalanan.
Kembali ke Kota Ditemani Matahari Terbenam yang Indah
Dalam perjalanan ke kota, kami ditemani senja yang indah dan pemandangan city light yang memukau dari kejauhan. Andai rencana ke Pictniq jadi terlaksana, mungkin pemandangannya akan terasa jauh lebih fantastis. Sayangnya, niat itu harus saya urungkan karena harga tiket masuknya tiba-tiba naik menjadi Rp50.000 per orang. Selain pertimbangan biaya, kondisi tubuh kami juga sudah cukup lelah setelah seharian beraktivitas.
![]() |
Senja yang tak seindah tangkapan mata (Sumber: Dokumentasi Pribadi) |
Si bungsu mulai rewel di perjalanan dan akhirnya tertidur. Si sulung juga menolak diajak makan malam di luar. Karena itu, kami langsung menuju rumah sewa yang sudah kami pesan jauh-jauh hari. Lokasinya berada di Jalan Veteran, sekitar 4 km dari Titik Nol Kilometer Yogyakarta.
Kami tiba di rumah sewa menjelang waktu Magrib. Setelah menidurkan si bungsu di kamar, saya pun membersihkan diri, salat, lalu mulai mencari makan malam lewat aplikasi di ponsel. Sempat bingung memilih, akhirnya kami memesan sate ayam Madura dan sate taichan. Enaknya menyewa rumah seperti ini adalah ruang geraknya lebih leluasa dan kebersamaan bersama keluarga terasa lebih hangat. Rasanya seperti di rumah sendiri.
Hari Keempat: Menikmati Kuliner dan Museum
Pagi hari keempat dimulai dengan berjalan kaki mencari sarapan di sekitar rumah sewa, sekalian menikmati suasana Jogja di pagi hari, jauh dari keramaian kawasan wisata. Kami ingin merasakan kehidupan penduduk lokal secara lebih dekat. Tidak ada tujuan khusus, kami hanya menyusuri trotoar sambil melihat-lihat apa saja yang ada di sekitar.
Menyantap Soto Ayam Lenthok dan Getuk
Saat melewati sebuah warung tenda bertuliskan Soto Ayam Lenthox “Mas Brow”, aroma sotonya langsung menggoda selera. Sayangnya, tempatnya masih penuh, jadi kami memutuskan untuk berjalan-jalan sebentar sambil menunggu.
Tidak jauh dari situ, kami menemukan seorang penjual getuk dan tiwul. Getuk yang dijual cukup unik, dengan berbagai varian rasa: getuk singkong gula merah dan gula putih, getuk ubi ungu, getuk ubi madu, hingga getuk talas. Saya dan Ibu pun tak tahan untuk mencicipi semuanya. Kami membeli tiwul dan aneka getuk sebanyak dua porsi.
![]() |
Soto Ayam Lenthok, Getuk dan Tiwul (Sumber: Dokumentasi Pribadi) |
Setelah itu, kami kembali ke warung soto yang tadi. Ternyata, lenthok adalah sejenis perkedel singkong. Mirip dengan yang biasa ditemukan dalam tahu campur. Pagi itu kami menikmati semangkuk soto sambil lesehan di atas tikar, tepat di depan Klinik Mata Jogja, dengan pemandangan lalu lintas pagi yang masih cukup lengang. Sederhana, tapi terasa nikmat sekali. Apalagi setelah berjalan kaki di udara pagi yang sejuk.
Setelah sarapan, kami kembali ke rumah sewa. Saat itu jam masih menunjukkan pukul delapan pagi, tapi badan rasanya sudah minta rebahan. Sebenarnya, kami sempat berencana main ke Taman Pintar pagi itu. Tapi melihat semua masih lelah dan ingin bersantai, saya pun mengurungkan niat. Lagi pula, saya ada janji makan siang dengan teman-teman dari Drakor Class. Takutnya malah jadi terburu-buru dan tidak bisa menikmati keduanya. Jadi, kami putuskan untuk istirahat saja di rumah sambil menikmati getuk dan tiwul yang kami beli.
Makan Siang dan Meet Up di Nanamia Pizzeria
Sekitar tengah hari, kami kembali keluar menuju Nanamia Pizzeria di Jalan Tirtodipuran untuk makan siang sekaligus bertemu dengan teman-teman saya dari Drakor Class. Setelah lima tahun saling kenal secara daring, akhirnya kami bisa bertatap muka langsung untuk pertama kalinya.
![]() |
Meet up tipis-tipis (Sumber: Dokumentasi Pribadi) |
Pertemuan siang itu terasa hangat. Kami mengobrol santai sambil menikmati pizza dan pasta. Si sulung asyik bermain dengan anak teman saya, sementara si bungsu yang baru bangun tidur sempat rewel dan akhirnya diajak papanya keluar resto untuk jajan sebentar.
Belajar Sejarah di Museum Sonobudoyo
Sore harinya, setelah berpisah dengan teman-teman, kami melanjutkan perjalanan ke Museum Sonobudoyo. Hari itu kami tidak lagi menyewa mobil karena memang tidak ada rencana bepergian jauh. Kami hanya mengandalkan taksi online. Selain lebih mudah didapat, tarifnya juga lebih terjangkau dibanding menyewa mobil.
![]() |
Suasana Gedung Lama (Sumber: Dokumentasi Pribadi) |
Kami masuk ke Museum Sonobudoyo hanya berlima karena adik saya memilih memisahkan diri untuk menjalankan agendanya sendiri. Museum ini terdiri dari dua gedung yaitu gedung baru dan gedung lama. Gedung lama menampilkan pameran yang cenderung sederhana jika dibandingkan dengan gedung baru. Tata ruangnya memberikan kesan tradisional yang kuat. Di dalamnya terdapat koleksi benda-benda budaya seperti patung, wayang, batik, hingga berbagai peralatan rumah tangga zaman dahulu.
![]() |
Suasana Gedung Baru (Sumber: Dokumentasi Pribadi) |
Berbeda dengan gedung lama, gedung baru Museum Sonobudoyo menyuguhkan pengalaman yang lebih modern dan interaktif. Pencahayaannya terang, ruang-ruangnya terasa lega, dan koleksi ditata dengan visual yang lebih menarik. Anak-anak tampak lebih bersemangat saat menjelajahi bagian ini. Penyajiannya memang dirancang agar lebih ramah untuk pengunjung muda, sehingga suasananya terasa lebih hidup dan menyenangkan. Tempat ini sangat cocok untuk mengenalkan budaya Jawa kepada generasi muda dengan cara yang segar dan mudah dipahami.
Salat Asar di Masjid Gedhe Kauman
Setelah keluar dari Museum Sonobudoyo, kami melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki menuju Masjid Gedhe Kauman. Sore itu suasana cukup lengang saat kami melintasi Alun-Alun Utara Yogyakarta yang terbentang luas di depan mata. Tujuan kami ke masjid bukan hanya untuk salat Asar, tapi juga untuk melihat langsung salah satu bangunan bersejarah yang penting di kota ini. Saya sempat membisikkan pada anak sulung saya, “Ini loh masjid yang tadi muncul di film di museum.” Wajahnya tampak antusias, seolah potongan cerita sejarah yang baru saja ia tonton kini benar-benar hadir di depan matanya.
![]() |
Masjid Gedhe Kauman (Sumber: Dokumentasi Pribadi) |
Setelah salat, sambil menunggu suami dan anak sulung, Ibu sempat membeli wedang ronde yang dijual di pelataran masjid. Sementara itu, saya menemani si bungsu yang antusias melihat ikan-ikan di kolam depan masjid. Ia tampak sangat senang, berlarian ke sana kemari sambil menunjuk ikan-ikan kecil yang berenang.
Masjid ini memang memiliki suasana yang sangat hidup. Di pelatarannya banyak orang berjualan dan anak-anak bermain bola. Di teras depan, beberapa orang duduk beristirahat sambil bercengkerama. Baru di area dalam, suasana berubah menjadi lebih tenang dan khusyuk untuk beribadah. Masjid yang hidup seperti ini sudah mulai jarang ditemui.
Membeli Bakpia Untuk Oleh-Oleh
Tujuan terakhir kami hari itu adalah membeli oleh-oleh. Saya membuka aplikasi peta dan mencari lokasi toko Bakpia Kurnia Sari terdekat. Salah satu yang muncul adalah toko bernama "Bakpia Kurnia Sari 0 Point Kilometer Yogyakarta". Karena lokasinya cukup dekat, kami pun langsung meluncur ke sana. Kali ini, kami berjalan-jalan sambil menikmati suasana sore di sekitar Titik Nol Kilometer. Suasananya terasa sedikit berbeda dibandingkan malam hari saat kami berkunjung di hari pertama.
![]() |
Sore Hari di Titik Nol Kilometer (Sumber: Dokumentasi Pribadi) |
Hari itu kami membeli bakpia aneka rasa dan bakpia kukus. Ternyata setelah sampai di Bandung, saya baru sadar kalau toko yang kami kunjungi bukan outlet resmi Bakpia Kurnia Sari. Outlet resminya yang berada tak jauh dari Titik Nol Kilometer sebenarnya bernama “Bakpia Kurnia Sari Ahmad Dahlan”. Letaknya hanya sekitar 400 meter dari toko yang kami datangi. Rasanya sedikit kecewa, tapi ya sudahlah, yang penting tetap bisa membawa pulang bakpia.
Setelah selesai berbelanja, kami langsung memesan taksi online untuk kembali ke rumah sewa. Sebenarnya, saya masih ingin berbelanja di kawasan Malioboro dan sekitarnya. Namun, karena si bungsu sudah sangat rewel, kami pun memutuskan untuk pulang saja.
Makan Malam Nasi Goreng dan Pecel Ayam di Rumah Sewa
Malam harinya, kami memutuskan untuk beristirahat di rumah sewa dan tidak keluar lagi. Saya minta tolong adik untuk membelikan lalapan ayam dan nasi goreng di sekitar tempat kami menginap. Malam itu kami tidur lebih awal, kecuali suami yang sempat keluar sebentar untuk menemui teman kerja kami di Bali dulu. Kebetulan ada dua orang yang tinggal di Jogja, tapi saya hanya sempat bertemu salah satunya yang datang menjemput suami.
Malam itu terasa sederhana tapi hangat. Meski hanya diisi makan malam di rumah sewa dan obrolan ringan, rasanya cukup untuk menutup hari dengan bahagia. Kami menikmati waktu bersama tanpa agenda yang padat, dan mungkin justru di situlah letak istimewanya.
Itulah cerita liburan kami dari hari ketiga dan keempat. Rasanya menyenangkan bisa menikmati kota ini tanpa terburu-buru, dengan ritme yang sesuai untuk bepergian bersama keluarga. Pelan-pelan, Jogja yang dulu hanya saya ingat karena panasnya, kini mulai saya kenang karena hangatnya.
Tapi perjalanan ini belum selesai. Masih ada cerita dari hari terakhir yang juga tak kalah berkesan. Selain itu, di tulisan berikutnya saya juga akan membagikan tips singkat dan rangkuman itinerary lengkap 5 hari 4 malam yang disertai estimasi waktu dan urutan perjalanan. Semoga bisa membantu kamu yang sedang merencanakan liburan serupa, terutama jika membawa balita atau ingin menjelajah Jogja dengan cara yang santai namun tetap hemat.
Sampai jumpa di bagian akhir cerita ya!